Sabtu, 07 November 2009

MENCARI HAKIKAT PADA ALAM


Benarkah langit itu biru, taman itu hijau dan pasir itu putih.

Benarkah madu itu manis, maja itu pahit.

Apakah kayu itu benda kaku, sutera itu lemas.

Benarkah batu itu benda mati.

Betulkah kaca itu bening, tembok itu masif tak tembus cahaya.

*

Tentu saja tidak.

Semua yang bisa dilihat, diraba, dicium dan dirasa bukanlah hakekat. Cahaya yang terbias melalui prisma terurai menjadi tujuh. Apakah tujuh warna itu hakikat?

Tidak.

Tujuh warna adalah spektrum panjang gelombang, perbedaan frekuensi, tidak lebih dan tidak kurang.

Namun itulah keterbatasan mata manusia.

Kelemahan mata kita adalah nikmat Allah sebagai indera yang tidak mampu melihat spektrum gelombang dan merasakan getaran frekuensi sebagai getaran. Yang terjadi hanyalah reaksi saraf di selaput jala mata yang menerima getaran dan meneruskan ke pusat syaraf di otak yang menterjemahkan getaran berita syaraf menjadi warna dan bentuk.

Tetapi gelombang cahaya bukanlah warna. Daun yang hijau bukanlah hijau.

Hijau adalah bahasa otak yang menerima getaran syaraf berdasarkan informasi selaput jala dari sejumlah getaran gelombang dengan frekuensi tertentu yang datang ke arah kita setelah ditolak oleh daun yang menerima cahaya.

Warna-warna pada hakikatnya adalah bukan warna.

***

Gula adalah gula. Manisnya gula bukanlah hakikat gula. Untuk yang sehat gula itu manis. Bagi si sakit, syaraf lidahnya memberi isyarat yang berbeda… gula itu pahit. Manis dan pahit adalah bahasa otak, sedangkan gula adalah GULA.

Dinding tembok tidaklah masif. Karena dinding terdiri dari molekul yang terikat dalam ruang kosong antar molekul. Molekul terdiri dari atom yang tergabung dalam ruang antar atom. Sayangnya mata kita amat lemah dan tidak mampu melihat elektron berputar seperti planet di sekeliling matahari. Tembok menjadi masif, karena mata tidak mampu melihat ruang kosong diantara atom dan molekul.

***

Maka seniman menampilkan dunia yang berbeda, karena dunia ini memang tidak seperti yang terlihat. Jika kita melihat langit itu biru, seniman menggambarkan hitam legam bergaris putih atau seperti bulu merak aneka warna.

Seorang saintis berbeda dengan seorang seniman. Jika seniman mencari hakekat dengan intuisi dan perasaan, maka saintis menggunakan rumus-rumus dan hitungan.

Maka hakikat bintang berjarak 5 juta tahun cahaya dari bumi tidak kita tahu. Karena yang kita lihat adalah masa lampau bintang jutaan tahun yang lalu. Karena itu mata adalah mudah dibohongi. Mungkinkah kita silau oleh kilatan cahaya sesuatu yang sebenarnya tidak berwujud.

Karena mata yang lemah, sinar ultra violet tidak terlihat. Begitu juga sinar infra merah. Meskipun secara hakikat kedua sinar tersebut ada, karena panjang gelombangnya tercatat oleh alat.

***

Lidah dan syaraf perasa yang tidak sempurna, ditambah otak yang mudah dimanipulasi. Jadi, dimanakah letak kekuatan manusia?

Alam yang kita lihat bukanlah alam sebenarnya, semata-mata istilah yang kita berikan sendiri. Padahal seluruh tanggapan indera kita bersifat relatif, bukan hakikat

Minggu, 18 Oktober 2009

Jaya Baya



PENDAHULUAN

Ramalan Jayabaya versi Sabda Palon - ini pernah saya buat sebagai artikel bersambung di muat di Harlan Berita Buana Jakarta, dimulai tgl. 30 Januari 1975 hingga rampung. Di dalam buku ini kita sempurnakan lagi sesuai dengan cara penyusunan buku sederhana (ilmiah populer) dengan maksud, agar para pembaca yang tidak sempat mengikuti secara tertib lewat surat kabar tersebut, dapat menikmati isinya secara tenang dan komplit, lewat penerbitan buku ini. Naskah ini sebenarnya telah lama dipersiapkan dan akan dkerbitkan, tetapi karena sesuatu hal terpaksa mundur hingga setahun lebih.

Halangan penerbitannya karena kebetulan korektornya meninggal dunia, akan tetapi sebelumnya penulis sudah mendapat keterangan bahwa naskah itu sudah lolos dari sensor dan bahkan tidak banyak kalimat-kalimat yang dicoret, maka berterima kasih banyaklah saya sebagai penulis.

Dari berbagai sumber dan keterangan yang saya Kumpulkan mengenai Ramalan Jayabaya, maka dapatlah kesimpulan bahwa sumber ramalan ini sebenarnya hanya satu yakni "Kitab Asrar" karangan Sunan Giri Perapan (Sunan Giri ke-3) yang kumpulkannya pada tahun Saka 1540 = 1028 H = 1618 M, hanya selisih 5 tahun dengan selesainya buku Pararaton tentang sejarah Majapahit dan Singosari yang ditulis di pulau Bali 1535 Saka atau 1613 M. Jadi penulisan sumber ini sudah sejak jamannya Sultan Agung dari Mataram bertahta (1613-1645 M).

Kitab Jangka Jayabaya pertama dan dipandang asli, adalah dari buah karya Pangeran Wijil I dari Kadilangu (sebutannya Pangeran Kadilangu II) yang dikarangnya pada tahun 1666-1668 Jawa = 1741-1743 M. Sang Pujangga ini memang seorang pangeran yang bebas. Mempunyai hak merdeka, yang artinya punya kekuasaan wilayah "Perdikan" yang berkedudukan di Kadilangu, dekat Demak! Memang beliau keturunan Sunan Kalijaga, sehingga logis bila beliau dapat mengetahui sejarah leluhurnya dari dekat, terutama tentang riwayat masuknya Sang Brawijaya terakhir (ke-5) mengikuti agama baru, Islam, sebagai pertemuan segitiga antara Sunan Kalijaga, Brawijaya ke-V dan Penasehat Sang Baginda benama Sabda Palon dan Nayaginggong, seperti yang akan kita uraikan dalam buku ini.

Disamping itu beliau menjabat sebagai Kepala Jawatan Pujangga Keraton Kartasura tatkala jamannya Sri Paku Buwana II (1727-1749). Hasil karya sang Pangeran ini berupa buku-buku misalnya, Babad Pajajaran, Babad Majapahit, Babad Demak, Babad Pajang, Babad Mataram, Raja Kapa-kapa, Sejarah Empu, dll.

Tatkala Sri Paku Buwana I naik tahta (1704-1719) yang penobatannya di Semarang, Gubernur Jenderalnya benama van Outhoorn 1) yang memerintah pada tahun 1691-1704. Kemudian diganti G.G van Hoorn (1705-1706), Pangerannya Sang Pujangga yang pada waktu masih muda. Didatangkan pula di Semarang sebagai Penghulu yang memberi Restu untuk kejayaan Keraton pada tahun 1629 Jawa = 1705 M, yang disaksikan GG. Van Hoorn.

Tatkala Keraton Kartasura akan dipindahkan ke desa Sala, sang Pujangga diminta pandapatnya oleh Sri Paku Buwana II, selanjutnya beliau diserahi tugas dan kewajiban sebagai peneliti untuk menyelidiki keadaan tanah di desa Sala, yang terpilih untuk mendirikan keraton yang akan didirikan pada tahun 1669 Jawa = 1744 M.

Sang Pujangga wafat pada hari Senin Pon, 7 Maulud Tahun Be Jam'iah 1672 Jawa 1747 M, yang pada jamannya Sri Paku Buwono 11 di Surakarta. Kedudukannya sebagai Pangeran Merdeka diganti oleh puteranya sendiri yakni Pangeran Soemekar, lalu berganti nama Pangeran Wijil II di Kadilangu (Pangeran Kadilangu III), sedangkan kedudukannya sebagai pujangga keraton Surakarta diganti oleh Ngabehi Yasadipura I, pada hari Kemis Legi,10 Maulud Tahun Be 1672 Jawa = 1747 M.

Jangka Jayabaya yang kita kenal sekarang ini adalah gubahan dari Kitab Musarar, yang sebenarnya untuk menyebut "Kitab Asrar" Karangan Sunan - Giri ke-3 tersebut. Selanjutnya para pujangga dibelakang juga menyebut nama baru itu.

Kitab Asrar itu memuat lkhtisar (ringkasan) riwayat negara Jawa, yaitu gambaran gilir bergantinya negara sejak jaman purbakala hingga jatuhnya Majapahit lalu diganti dengan Ratu Hakikat ialah sebuah kerajaan Silam pertama di Jawa yang disebut sebagai ”Giri Kedatan". Giri Kedatan ini nampaknya Merupakan jaman peralihan kekuasaan Islam pertama di Jawa yang berlangsung antara 1478-1481 M, yakni sebelum Raden Patah dinobatkan sebagai Sultan di Demak oleh para Wali pada 1481 M. Namun demikian adanya keraton Islam di Giri ini masih bersifat ”Hakikat” dan diteruskan juga sampai jaman Sunan Giri ke-3.

Sejak Sunan Giri ke-3 ini praktis kekuasaannya berakhir karena penaklukkan yang dilakukan oleh Sultan Agung dari Mataram; Sejak Raden Patah naik tahta (1481) Sunan Ratu dari Giri Kedatan ini lalu turun tahta kerajaan, diganti oleh Ratu seluruh jajatah, ialah Sultan di Demak, Raden Patah. Jadi keraton di Giri ini kira-kira berdiri antara 1478-1481 M atau lebih lama lagi, yakni sejak Sunan Giri pertama mendirikannya atau mungkin sudah sejak Maulana Malik Ibrahim yang wafat pada tahun 1419 M (882 H). Setelah kesultanan Demak jatuh, (Sultan Trenggono); lalu tahta kerajaan jatuh ke tangan raja yang mendapat julukan sebagai "Ratu Bobodo" 2) ialah Sultan Pajang. Disebut demikian karena pengaruh kalangan Ki Ageng yang berorientasi setengah Budha/Hindu dan setengah Islam di bawah pengaruh kebatinan Siti Jenar, yang juga hendak di basmi pengaruhnya sejak para Wali masih hidup.

Setelah Kerajaan ini jatuh pula, lalu di ganti oleh penguasa baru yakni, Ratu Sundarowang ialah Mataram. 3) bertahta dengan gelar Prabu Hanyokro Kusumo (Sultan Agung) yang berkuasa di seluruh Jawa dan Madura. Di kelak kemudian hari (ditinjau, dari sudut alam pikiran Sri Sultan Agung dari Mataram ini) akan muncullah seorang raja bertahta di wilayah kerajaan Sundarowang ini ialah seorang raja Waliyullah yang bergelar Sang Prabu Herucakra yang berkuasa di seluruh Jawa-Madura, Patani dan Sriwijaya.

Wasiat Sultan Agung itu mengandung kalimat ramalan, bahwa kelak sesudah beliau turun dari tahta, kerajaan besar ini akan pulih kembali kewibawaannya, justru nanti dijaman jauh sesudah Sultan Agung wafat.

ini berarti raja-raja pengganti beliau dinilai (secara pandangan batin) sebagai raja-raja yang tidak bebas merdeka lagi. Bisa kita maklumi, karena pada tahun-tahun berikutnya praktis Mataram sudah menjadi negara boneka VOC yang menjadi musuh Sultan Agung (ingat perang Sultan Agung dengan VOC tahun 1628 & 1629 yang diluruk ke Jakarta/ Batavia oleh Sultan Agung).

Oleh Pujangga, Kitab Asrar digubah dan dibentuk lagi dengan pendirian dan cara yang lain. Yakni dengan jalan mengambil pokok/permulaan cerita Raja Jayabaya dari Kediri. Nama mana diketahui dari Kakawin Bharatayudha, yang dikarang oleh Mpu Sedah pada tahun 1079 Saka = 1157 M atas titah Sri Jayabaya di Daha/ Kediri.

Setelah mendapat pathokan/data baru, raja Jayabaya yang memang dikenal masyarakat sebagai pandai meramal, sang pujangga (Pangeran Wijil) lalu membuat karangan berjudul "JANGKA JAYABAYA" dengan ini yang dipadukan antara sumber Serat Bharatayudha dengan kitab Asrar serta gambaran pertumbuhan negara-negara dikarangnya sebelumnya dalam bentuk babad.

Lalu dari hasil, penelitiannya dicarikan Inti sarinya dan diorbitkan dalam bentuk karya-karya baru dengan harapan dapat menjadi sumber semangat perjuangan bagi generasi anak cucu di kemudian hari. 4)*

Cita-cita yang pujangga yang dilukiskan sebagai jaman keemasan itu, jelas bersumber semangat dari gambaran batin Sultan Agung. Jika kita teliti secara kronologi, sekarang ternyata menunjukan gambaran sebuah negara besar yang berdaulat penuh yang kini benama "REPUBLIK INDONESIA"!.

Kedua sumber yang diperpadukan itu ternyata senantiasa mengilhami para pujangga yang hidup diabad-abad kemudian, terutama pujangga terkenal R.Ng. , cucu buyut pujangga Yasadipura I pengganti Pangeran Wijil I. (Lihat Bab I berikut ini).

Jangka Jayabaya dari Kitab Asrar ini sungguh diperhatikan benar-benar oleh para pujangga di Surakarta dalam abad 18/19 M dan sudah terang Merupakan sumber perpustakaan dan kebudayaan Jawa baru. Hal ini ternyata dengan munculnya karangan-karangan baru, Kitab Asrar/Musarar dan Jayabaya yang hanya bersifat jangka/ramalan belaka. Sehingga setelah itu tumbuh bermacam-macam versi teristimewa karangan baru Serat Jayabaya yang bersifat hakikat bercampur jangka/ramalan, akan tetapi dengan uRajan yang dihubungkan dengan lingkungan historisnya satu sama lain, sehingga Merupakan tambahan riwayat buat negeri ini. Semua itu telah berasal dari satu sumber benih, yakni Kitab Asrar (Sunan Giri) dan Jangka Jayabaya gubahan dari kitab Asrar tadi, plus serat Mahabarata karangan Mpu Sedah & Panuluh. Nanti akan kita terangkan jenis-jenis & versi Ramalan Jayabaya dan Asrar yang sudah di ganti sebutan dengan Kitab Musarar karya Pangeran Wijil, serta gubahan-gubahan pujangga Yasadipura serta .

Jangka Jayabaya versi Sabdo Palon ini kiranya dikarang Pangeran Wijil pada tahun 1675 Jawa = 1749 M. 5) Bersama dengan gubahannya ”Kitab Musarar”, berbentuk puisi. Dengan begitu menjadi jelasiah apa yang kita baca sekarang ini.

Notasi-Notasi :
1). *L. van Rijckevorsel, "Kitab riwayat Kepoelauan Hindia Timoer:, J.B. Wolter-Groningen Batavia, 1928 hal 87
2). R. Tanoyo, : Djongko DjoJobojo" Sadu Budi Sala, 1946 Hal/catatan tentang arti "bobodo" ialah raja yang menguasai seluruh wilayah yang rakyatnya masih bodoh-bodoh yang dipengaruhi keinginan para Ki Ageng pengikut Syech Siti Jenar yang ingin mengembalikan negerinya (Pajang) kearah jaman kebodohan yang menurut istilah Islam disebut jaman Jahiliyah. Sebutan demikian diberikan oleh para wali "Jajatah" berarti daging yang dipotong kecil-kecil yang akan disate sebagai pelengkap upacara sesaji untuk para dewa. Raja yang berkuasa diseluruh daerah "Jajatah" ialah Raden Patah, artinya wilayah yang meliputi bekas kekuasaan Mojopahit.

3). * Mataram pada saat Sultan Agung disebut pula "Sundarowang", yang kekuasaannya meliputi wilayah Jajatah plus tanah Pasudan/Pajajaran. ini ada hubungannya dengan riwayat/dangeng Ciyung Wanara.

4). * Lihatlah pula Moch. Hari Soewarno dalam Berita Buana 27-11-1979, " pengolah Ramalan Kitab Asrar yang disimpan kumpulkan oleh Sunan Giri Parapan Ke-3".

5). * Mengingat Pangeran Wijil sudah wafat tahun 1747 M, dua tahun sebelumnya karangan ini dimunculkan (1675 Jawa = 1749 M), maka persamaan tahun Masehinya = 1749 tidak masuk akal, karena itu karangan ini sangat boleh jadi dikutip aleh Yasadipura I, penggantinya.*

Tetapi setelah kita periksa lagi kata-kata permulaan setiap point dalam Pupuh 11 (9 point), bila kita baca dari angka satu hingga sembilan, dari atas kebawah, akan menunjukan nama sandi sang Pujangga : "R.Ng. Burhan Inggih (point 1 seluruhnya) Ing Surakarta." (Point 2 s/d 9)***

Sinyalemen Serat Jayabaya ini Pupuh II point 4 mirip sekali sinyalemen pujangga dalam serat Kala Tidha point 7 (jaman edan). Kalau serat Kala Tidha ditulis tahun 1769 Jawa = 1841 M, dengan ketika tahun 1700 Jawa = 1842 M, sang pujangga juga menyusun serat "Jangka Jayabaya" berciri prosa, maka serat Jangka Jayabaya versi Sabda Palon ini sangat boleh jadi ditulis sekitar tahun 1841 atau 1842 M. Kesimpulannya tidak meragukan lagi.



BAB I

RAMALAN JAYABAYA

1. Besuk yen wis ono kreto mlaku tanpa turonggo, tanah Jawa kalungan wesi, prahu mlaku ing awang-awang, kali padha ilang kedunge, pasar ilang kemandange, iku tondo yen tekane Jaman Djoyoboyo wis cedhak.

2. Bumi saya suwe saya mengkeret, sekilan bumi dipajeki, jaran doyan sambel, kreto roda papat setugel. Wong wadon nganggo pakaian lanang, iki bakal yen nemoni wolak-walike jaman.

3. Akeh janji ora dketepi, akeh wong nglanggar sumpahe dewe. Manungso podho seneng nyalah. Tan nindake hukume Allah. Barang jahat diangkat-angkat, barang suci dibenci.

4. Akeh manungso ngutamaka real. Lali kamanungsane, lali kebecikan, lali sanak lali kadhang. Akeh bapak lali anak, sedulur podho cidro, keluargo podho curigo, konco dadi mungsuh. Manungso lali asale.

5. Ukuman Ratu ora adil. Akeh pangkat kang jahat jail. Klakuan podho ganjil, wong sing apik podho kepencil. Makaryo apik manungso, isin, Luwih utomo ngapusi.

6. Wegah makarya kepingin urip kaya Raja. Ngumbar nafsu angkara murka anggedekake duroko. Wong bener tenger-tenger, wong salah bungah-bungah. Wong apik ditampik, wong jahat munggah pangkat.

7. Wong agung kesinggun, wong ala dipujo-pujo, wong wadon ilang wadone, ilang wirange. Wong lanang ilang lanange, ilang kaprawirane.

8. Akeh jago tanpo bojo, wanita podho ora setiyo, laku sedang bubrah jare gagah. Akeh biyung adal anak, akeh wanita adal awak. Bojo ijol-ijolan jarene jempolan.

9. Wong wadon nunggang jaran, wong lanang nunggang planqki. Rondo seuang loro, prawan saiga lima. Dhudo pincang payu sangang uwang.

10. Akeh adal ilmu, akeh wong ngaku-ngaku. Njabane putih, njerone dadu. Ngakune suci, sucine palsu. Akeh bujuk akeh loyo.

11. Akeh udan salah mongso, akeh prawan tuwo. Akeh rondo metheng, akeh bayi tanpo bapak. Akeh agomo akeh sing nantang, kamanungsan akeh sin ilang. Omah suci podho dibenci, omah olo podho dipujo-pujo. Wanita podho wani ing ngendi-ngendi.

12. Akeh laknat, akeh pengkhianat. Akeh anak mangan bapak. Sedulur nglarak sederek. Guru podho disatru. Buruh dadi mungsuh, tonggo podho curigo. Kono-kene soyo angkaro murko.

13. Sing weruh ketutuh, sing ora iyo ketutuh, mbesuk yen ono perang teko wetan, soko kulon, lor Lan kidul, wong becik soyo sengsoro Lan mbendul. Wong jahat podho seneng mangan berkat.

14. Wektu iki akeh dandang diunekake kuntul. Wong salah dianggap bener. Pengkhianat nikmat. Durjana sangsoyo sempurno. Wong lugu keblenggu. Wong mulyo dikunjoro.

15. Sing curang garang, sing jujur ancur. Wong dagang kemlanggang. Wong judi podho ndadi. Akeh barang kharam, akeh anak kharam. Prawan cilik podho ngidam, wanita podho nglamar priyo, isih bayi wis podho mbayi. Sing priyo ngasorake drajade dhewe.

16. Wong golek pangan pindho gabah dan interi. Sing kebat, kebat kliwat, sing kasep Kepleset. Sing gawe rame tompo gawe, sing cilik kecelik, sing anggak ketungkak. Sing wedi podho mati, nanging sing ngawur podho Makmur. Sing ngati-ngati sesambat kepati.

17. Akeh barang klebu luwang, akeh wong kaliren Lan wudho, ora dhuwe wirang mergo kepekso. Wong tuku nglenik sing dodol, sind dodol akal-akal.

18. Pancen wolak-walike jaman. Amenangi jaman edan, sing ora edan ora keduman. Sing waras podho nggaqas. Wong wani ditaleni. Wong doro podho uro-uro. Begja-begjane sing eling Lan waspodho.

19. Ratu ora netepi janji, musno kuwasane Hang perbawane. Akeh omah ing ndhuwur jaran. Wong podho mangan uwong. Kayu gligen Lan wesi podho kolu diroso enak koyo ruti bolu. Yen bengi ora Iso turu.

20. Dagang barang saya laris, bandane saya ludes. Akeh wong kaliren ing sisihe panganan. Akeh wong nyekel bondho ning uripe sangsoro. Sing edan bisa podho dandan, sing bengkok bisa nggalang omah gedhong magrong-magrong.

21. Wong waras Lan adil uripe anggagas Lan kepencil. Sing ora bisa maling, podho digething. Sing pinter duroko pudho dadi konco. Wong bener soyo thenger-thenger, wong salah soyo bungah-bungah begjane sing eling. Akeh bondho musno ora karuan larine. Akeh pangkat Lan drajat podho ningkat ora karuan sebab sebabpe.

22. Rawa podho dadi bero, ebila janmo manungso. Ebila majelis manungso soro. Wong bener thenger-thenger, wong salah bungah-bungah. Begjane sing elingi, begjane sing lali, nanging isih begja sing waspodho.

23. Mulo dan tkenono. Manungso Jowo mengku Ratu, wis ora bapa ora ibu, titikane nganggo ketu bengi asirah watu wesi. Pangapasane wanodyo ngiwi-iwi. Jejuluk sarwo Agung edi.

24. Banjir bandang ono ngendi-ngedi, gununq njlebug tan njarwani, lan ngimpeni gethinge kepati-pati marang pandhito-pandhito pati geni. Margo wedi kewiyak wadhi. Sopo arane sejati.

25. Ratu digdoyo ora tadis tapak palune pandhe sisa gurindo. Ning apase mungsuh setan, tuyul ambregudul, bocah cilik pating pendelik ngubengi omah sorak-sorak koyo nggusak pitik. Ratu atine dadi cilik. Ngundomono bolo sabrang sing doyan asu.

26. Patine nunggu sabdo Bupatine Perang Bathoro Endro. Disabdo mati tan keno mimis, tan keno panggawe olo, nanging cures ludes margo lemes. Ketekan bayu priyanggo sinendal sinambi miring. Patine amargo kecepit Sakating daging.

27. Ono wong tuwo ahli topo Agung. Muncul neng tengah gunung Kendang angrasuk busono ireng, ambiyantu Ratu sing dirubung tuyul anggereng. Pandhito iku ajejuluk Condro Sjji Jawa.

28. Adedagang carang klambi udang Lan lawe benang. Disujudi wong lanang sapirang-pirang. Umumyo tan panjang, namong saudarao Jowo bang.

29. Tutupe udarao jolu ngolu, udarao kaping jinggo nem pindho taun Masehi. Amargo tinutup kuali lumuten, kinepung semut ijo danten.

30. Polahe wong Jowo kadya gabah dan interi. Endi sing bener endi sing sejati. Poro topo ora wani podho wedi anylarake wewulang edhi margo salah-salah nemu pati.

31. Hamongso wus udarao jilu mo udarao Jowo ngolas molu udarao iso. Bakal ono Dewo angejowantah, apangawak manungso, apasuryan pindho Bethoro Kresno awewatak Bolo Dewo agaman Tri Sulo Wondho.

32. Sadurunge teko ono tetenger, lintang kemukus dowo ngalu-alu tumonjo ono kidul wetan bener. Lawas pitung bengi, parak esuk benter, ilang katut Bathoro Suryo. Jumedul bebarungan prihatin, sing wis mungkur, yoiku poro Dipati sing ngempet-ngempet sumur daning manungso anak turune setan mabur prihatine kawulo kelantar-lantar, iku tandhane putro Bethoro Endro wus katampo topo lagi teko. Ing Marcopodho ambiyantu wong Jowo.

33. apaparap Pangeran prang, tan pekso angone nyangang. Ngerahake sakabehing jim setan kumoro prewangan poro lelembut kebawah prentah saeko proyo, kinen ambiyantu poro manungso Jowo. Podho asesende. senjoto Tri Sulo Wondho. Kaderekake Sabdo Palon Nayaginggong.

34. Putro kinasih sawargi Sunan Lawu. Yo Kyai Ageng Brojomurti, yo Kresno yq Harimurti. Mumupuhi sakabehing Iaku, nugel tanah jowo kaping pindho.

35. Nyuwun laki rabi ora gantalan ratri mesti amujuti, mundhut sugih katuntun garis. Nyuwun upo mesti sembodo, garis sabdo ora gantalan. Bejo begjane sing yakin Lan tuhu setyo sabdaniro.

36. Dewane mung siji, kiblate ngalor ngulon. Yen nyembah nyungkemi lemah silo, ngedangkreng karo andremiming. Sambate anggelak blabar lan olah-olah salah ngematake sayur mentah. Nanging ugo bisa nyembadani ruwet tentreming wong sapirang-pirang, sing podho nyembah reco andhaplang. Cino eling omah-omahe. Kabeh pinaringan sabdo yo podho manthuk-manthuk.

37. Pendak suro nguntapake kumara kang katan nebus dosanira, kaadepake ngarsane kang kuwoso. Isih timur kaceluk wong tuwo, pandereke Gatutkoco sak yuto.

38. Idune idu geni, sabdane malati sing mbregudul mesti mati, ora tuwo ora enom podho dane bayi wani ora andayani. Yen kerso sinujudan wong tanah Jowo, nanging mung dipilih sopo-sopo.

39. Waskito pindho Dewo, bisa nyumurupi lahiriro, embahiro, buyutiro, canggahiro pindho lahir barung sedino. Ora keno diapusi mergo bisa moco ati. Wasis micoro, pinter wegig tumompo.

40. Dunung ono sasikili Redi Lawu sisih wetan, wetane Bengawan banjir, adedukuh pindho Raden Gatutkoco, arupo pagupon doro tundho tigo, kaya manungso sing angleledho.

41. Yen siro nyebut namine mesti dadi rame, asmane bisa ngramekake sing rame, sing kasinungan ebila wewe.

42. Adhepe pondhok tan karuan kiblate, mulo yo ngerti jantrane jaman. Abondho bandhu nanging ora duwe, titihane turonggo asikil limo cacahe. Ulese pasurya Bolo Dewo, gigire nganggo ules Getihe Punto Dewo.

43. Yen katitih playune pindho ibere Gatotkoco. Sing nitih yo titihane Bathoro Kresno yen nitih ono wetenge turonggo.

44. Yen krungu asmane podho gething, yen wus kenal podho nyanghing, sucihik suthik ditinggal plencing. Begja begjane sing bisa nyanghing. Biso akas digdoyo tanpo aji keling. Pindho manungso digdoyo kaya Baru Klinting.
45. Bupati apaparap Bupatine Prang, sing wani bakal wirang. Yen nglurug tanpo bolo, digdoyo tanpo aji opo. Lamun menang tanpo ngasorake liyo. Pancen sugih nanging tan abondho.

46. Wasis wegig, waskito, ngerti sadurunge winarah, pindho Dewo angejowantah. Biso pirso embahiro, angawuningani jantrane jaman Jowo, ngerti garise siji-sijine umat tan kalepyan susurupe jaman.

47. Mulo dan, upadinen sinatriyo Iku, wus tanpo bapa Lan bitu, lola wus apupus wido Jowo, mung ngandelake Tri Sulo, landepe tri sulo putuk, arupo suthik gegawe, gegawa pati utowo utang nyowo. Sing tengah sirik gegawe kapitunane liyan, sing pinggir tolak colong jupuk winarno.

48. Serik dan menehi ati melati, bisa kesiku. Senenge anggondo ajejaluk coro nistho, mangertiyo iku coba, ojo kaino-ino, hegja-begjane sing dipundhuti. Ateges ditompo jantraniro, kaemong siro sabroyo.

49. Ing aran Begawan, wong dudu Pandhito, sinebut Pandhito dudu Dewo, sinebut Dewo kayo manungso, kinen anggep manungso, eming duwe doyo tan opo ditakani tan dinalekake tan ono jontro kang disisihake kabeh kajarwakake jlentreh arang-arang terang adrandang.

50. Ojo gumun ojo ngungun, yo iku Bathoro Endro, kang pembayun. Turase kuwoso mbendhung setan. Idune tirto Brojomusthi, pisuh kaya ngundhuh yoiku kang bisa paring pituduh, marang jarwane jongko kalaningsun. Tan keno dan apusi, margo bisa manjing jroning ati, ono manungso serik ojo gelo, iku dudu wektuniro; ngangsuo sumur Ratu Tanpo Makutho.

51. Nanging musnae tanpo lari, ing tembe udarao Jowo Ngolas Rodas, udarao Isa Jingo Ngalu molu sing menangi enggalo dan luri. Ojo kongas jaman kandas mandhepo dan marikelu, begjo begjane anak putu.

52. Iki dalane sing eling Lan waspodho, Ing jaman Kala Bendu Jowo, ojo nglarang dalan wong ngluri, wong pangawak Dewo, Dewo pangawak manungso, sing malang-malang bakal cures ludes sak broyo diomo Kumoro. Ojo kleru Pandhito samudano. Lurinen Pandhito asenjoto Tri Sulo Wondho. Iku paringane Dewo.

53. Lenggahing Pembayun, Bethoro Endro; bebarungan jaman angkaro murko soyo ndadi, kono-kene soyo bingung, akeh wong kabiluk melu curang, kawulo wani bandoro, buruh wani juragan, juragan dadi umpan, sing asuworo seru sora oleh bolo. Wong pinter diinger, akeh wong pinter podho keblinger. Wong olo podho dipujo, wong ngerti mangan ati.

54. Bondho dadi suwolo, pangkat dadi pikat. Sing menang podho sawenang-wenang rumongso menang, sing salah mung ngalah rumongso kabeh salah. Ono bupati soko wong asor imane. Pepatih Kepala Judi, sing ati suci soyo dibenci, sing jahat pinter anjilat tur oleh hajat, sing maling tenguk-tenguk nemu kethuk, pitik angrem sak dhuwure pikulan.

55. Begal podho andugal, rampok keplok, wong omong mitenah sing diomong. Wong jogo nyolong sing dijogo, wong njaluk dijamin, amargo wedi dadi karmane sing jahat, sing jahil. Wong cilik kepencil.

56. Ono janma ngaku-ngaku dadi ratu, dhuwe bolo lan prajurit. Negarane ambaran saprowolon umbul-umbul warno jenang gulo. Tinengeran gamane cah angon rojo koyo, disulutri gamane pandhe pandhe wojo. Wong suci dibenci, wong jahat diangkat drajad, timah dianggep perak, emas dianggep tembogo, dandang diunekake kuntuk, wong dosa sentoso, wong becik dkekik, maling lepas giring, sing maling kepethuk maling.

57. Akeh sing tudhung kuwali lumuten, podho kepikut katut, janji menehi drajad jebulane ngajak mlarat, pinter micoro sing bener digawe olo puntone podho mati neng pinggir kali, tanpo sirah namung gembung.

58. Wanita angger wani, jebule kelangan laki, laki mati tan karuwan kubure tan karuwan dinane, akeh mati tanpo slametan, modin podho ngungsi mergo wedi mati, sing ngurusi wong mati digawe pati.

59. Iku balesane Semut Ijo kang kelangan Nganorang sapto, linuweng ing sumur Jolotundho kang kebak isi boyo. Iku tandane mungkure jaman, jaman wong sugih kroso wedi, wong wedi dadi priyayi, senenge wong jahat susahe wong becik.

60. Nanging manungso podho kuciwo margo dakwo-dinakwo. Ratu podho rembugan negoro endhi sing dipilih lan disenengi. Hera-heru wong Jowo kari separo, Londo Cino kari sejodo.

61. Cino arang eling, keplantrang dibandem ganciring, melu wong Jowo sing podho eling, sing ora eling podho muring, mlayu-mlayu koyo maling keno tuding, mergo tinggal podbo digething. Barung ayo mulih podho manjing.

62. Akeh Wong ijir, wong cilik sing eman. Selot-selote mbesuke, wolak-walike jaman, wong nyilih mbalekake, wong utang mbayar, utang nyowo nyaur nyowo, utang wirang nyaur wirang.

63. Akeh wong dicakot lemut mati. Dicakot semut sirno. Akeh suworo aneh tanpo bolo, prewangan mahluk alus podho baris, podho rebut gawe bebener garis, tan kasad moto, tan arupo sing mandegani putrane Bethoro Endro.

64. Agaman Tri Sulo Wondho. Momongane dadi nayakane perang. Perang tanpo bolo, sekti mandrAgung tanpo aji, nglurug tanpo wadya bolo. Yen to menang tan ngasorake, podho sugih tan abondho.

65. Ratu tanah Jowo mung siji nanging podho nyawiji. Agaman agodhong pring nom, atetenger lintang belik, anyekel gaman uleg-uleg wesi lambung, pandereke anyangklong once londo isine lombok kuning. Bumbung wulung tan rosan gineret kreto tan turonggo.

66. Nanging kombak mosiking dane suworo gemrenggeng pindho tawon gung, sing nganglang Gatutkoco, kembar sewu. Suksmane iwak lodan munggah daratan. Kawulo podho suko-suko margo adiling Pangeran wus teko.

67. Ratune nyembah kawulo, pandereke yo podho ngujo, iku momongane Pangeraning Prang. Sing wis adus wirang nanging kondang, sing agaman Tri sulo Wondho, genah kiblate gamblang tur njingglang, ora ono wong ngersulo, gemah ripah loh jinawi, kolo bendu wis mingser/mungkur ganti wuku.

Shalat Hak Dzat


SHOLAT HAK DAT
(SHOLATNYA PARA WALI ALLOH)

A'UDUBILAHI MINASYAITON NIRROJIM
BISMILAHIR ROHMANIR ROHIM

ASSALAMU'ALAIKUM WAROHMATULLOHI WABAROKATUH

Empat Kiblat (Opat Mazhab)
Balik kanan

Qomat (Cemeluk)
Allahu Akbar, Allah Ngawujud akbar saka ananing manungsa sampurna kupanarima usikum manusa sujud kanu maha langgeng, hak langgeng urip, urip salawase tan kenaing lara tan kenaing pati. Ya Hu, Hu Nurullah, Ya Hu, Hu Sirulloh, Ya Hu, Hu Dzatulloh, Ya Hu, Hu Sifatulloh, Ya Hu, Hu Asmalulloh, Ya Hu, Hu Af'alulloh, Ya Hu, Hu Wujudulloh.
Asolatu Asolatu Asolatu Hak Dat Gumelar, Asyhadu ala ila hailaloh wa asyhadu ana kudrat pasti Rosululloh. Ya Alloh 3x, Ya Muhammad 3x, Ya Rosululloh 3x, Ya Ruhul azid Ya Hadir 3x.

Rokaat 1

Asyhadu tibaning rasa ilalloh ngajadining rasa ilalloh sapatemoning rasa ilalloh Sejatining rasa. Ya rasa Ya Rosululloh, Ya Hu Hu Muhammad tunggaling rasa, tug jati tug jati Masya Alloh Rasa Rosululloh, nu osik sajeroning ati nu obah sajeroning rasa, nu tapa di gagang nyawa, kenyataaning dzatulloh ya Hu tunggal Gusti tunggal abdi, langgeng gusti langgeng abdi, ilang abdi tunggal gusti, dzat satunggal kersa, sajatining tunggal, dzat les sampurna ilalloh, wujud manusa nu hirup di ayana hirup, jumentul lahaula wala kuata hirup hak dat gumelar.

Rokaat 2

Dikikisan ku Gusti dikandangan ku Alloh, di luhur malaekat sewu, digigir bala seket, di handap sahabat opat, di tengah dzat rosululooh. Ya Hu Hu Hurip ingkang manjing jisim, sapatemoning dzatulloh, ya Hu Hu satunggal putih rupa raga kaula ditingali ku kaula nu ningali ku kaula, dzat gusti rupa raga kaula satunggal rupa jasmani latief nu sarupa jeng kaula.
Rohmanmu satetes nu saoles jeng kaula, Rohimu sarupa nu sarua jeng kaula, ya hadir 3x. Wujud gusti, wujud abdi, slamet gusti slamet abdi, jumeneng gusti jumeneng abdi, langgeng gusti langgeng abdi, kersa gusti kersa abdi, kawasa gusti kawasa abdi, hirupna Gusti nyatana Abdi, Bismi roh teguh, Alloh kang aweh teguh, Rohman kang amaning Roh-roh, Rohim kang imaning Jisim. Sapatemoning datulloh ya Hu ya Hirup.
Pujina Nur dat Nur Sifat Nur manusa, jleg Putih titinggalaning Nur.
Bismillahi Rohman Nirrohim, Nur Dat Nur Sifat, Nurrulloh Nur Jaya namaning, dimana diri sendiri, Raden Jaya Mas Ireng Namaning wewayangan terpil, ning dat tunggal semata hirupna ku cahayaning Alloh.

Selasa, 05 Mei 2009

Indahnya Alamku


Obyek wisata sekitar Kebun Raya Baturaden merupakan obyek wisata yang telah lama dikenal masyarakat, baik masyarakat sekitar maupun oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Bahkan obyek wisata yang dikemas dalam paket Wisata Baturaden telah dikenal oleh masyarakat manca negara. Obyek wisata sekitar Kebun raya diantaranya adalah

Sabtu, 25 April 2009

Alam Malakut


Alam keseluruhannya yang bisa kita saksikan dengan mata dinamakan alam kejadian atau alam makhluk atau segala sesuatu yang Allah ciptakan daripada yang sekecil-kecilnya hinggalah ke sebesar-besarnya. Makhluk kejadian Allah boleh dibahagikan kepada tiga peringkat alam. 1: Alam Syahadah 2: Alam Misal 3: Alam Arwah.
Alam Syahadah adalah benda dalam erti kata yang luas. Jangan menyangka sesuatu yang jauh dan tidak dapat dipandang dengan mata kasar itu sebagai bukan benda. Jika bintang merupakan benda yang paling jauh kelihatan pada pandangan kita, yang lebih jauh daripada bintang dan tidak dapat dipandang juga termasuk dalam kumpulan kebendaan. Benda atau jisim boleh dibahagikan kepada tiga kategori: 1: Jisim yang boleh dilihat dan dipegang 2: Jisim tipis yang ditembusi pandangan (transparent) 3: Jisim halus yang ghaib.
Ketiga-tiga jenis jisim tersebut boleh didapati di dalam Alam Syahadah. Alam Syahadah pula boleh dibahagikan kepada empat peringkat alam. 1: Alam Langit Dunia 2: Alam Bumi 3: Alam Langit-langit 4: Alam al-Kursi Yang Agung.
ALAM LANGIT DUNIA
Satu bahagian kecil daripada alam ini ialah planet bumi di mana tinggal di atasnya makhluk yang berbangsa manusia. Planet bumi bersama-sama bulan dan planet-planet yang lain berada di dalam satu tingkatan alam yang dinamakan Sistem Matahari. Pada mulanya ahli astronomi menyangkakan matahari menjadi pusat kepada alam. Penemuan kemudiannya menunjukkan matahari hanyalah sebiji bintang di antara jutaan bintang-bintang. Apabila ilmu astronomi semakin maju manusia menemui maklumat bahawa kumpulan bintang-bintang yang sangat banyak membentuk satu galaxy. Ahli astronomi membuat anggaran terdapat kira-kira satu ratus ribu juta bintang dalam galaxy yang ada planet bumi. Bintang-bintang berpusing mengelilingi satu pusat yang dipanggil Pusat Sistem Galaxy. Ahli astronomi membuat kiraan dan mendapati matahari kita mengambil masa 225 juta tahun untuk mengelilingi Pusat Sistem Galaxy satu pusingan.
Di samping galaxy yang terkandung planet bumi terdapat pula galaxy-galaxy lain. Bintang-bintang bagi setiap galaxy mengelilingi Pusat Sistem Galaxy masing-masing. Ada ahli astronomi membuat kiraan dan menganggarkan terdapat kira-kira 10 ribu juta galaxy semuanya.
Ukuran di antara bintang-bintang dan galaxy-galaxy tidak lagi diukur dengan kiraan batu atau kilometer, tetapi digunakan sukatan tahun cahaya. Cahaya bergerak selaju 186,000 batu satu saat. Hasil kiraan ahli astronomi mendapati jarak matahari kita dengan bintang yang paling hampir ialah 4 ¼ tahun cahaya.
Tiap galaxy bergerak dengan kelajuan yang berbeza. Galaxy yang dekat dengan kita lambat pergerakannya sementara yang lebih jauh lebih pantas pergerakannya. Pada jarak tertentu galaxy tidak kelihatan lagi kerana ia sudah lebih laju daripada cahaya lalu membawa cahayanya bersama-sama dan tidak mungkin lagi cahaya tersebut sampai ke bumi. Hasil kiraan ahli astronomi mendapati jarak di mana galaxy membawa cahaya bersama-samanya ialah tidak kurang daripada 13 ribu juta tahun cahaya. Inilah perbatasan ahli astronomi yang dapat dicapai melalui bantuan teleskop yang paling canggih. Kesemua galaxy tersebut berada di dalam satu alam yang bulat dan mengembang seumpama belon yang ditiupkan angin ke dalamnya.
Hasil penemuan melalui teleskop melahirkan teori-teori untuk menceritakan keadaan galaxy-galaxy selepas batas teleskop. Timbullah istilah Group, Metagalaxy, Teragalaxy dan sebagainya, sehingga sampai kepada yang tanpa batas (infinity).
Teori-teori tersebut adalah bersifat mungkin dan agak-agak sahaja. Walaupun bersifat mungkin dan agak-agak tetapi bila disandarkan kepada sains dan teknologi manusia umum dapat menerimanya sebagai kebenaran. Malangnya teori yang dibuat oleh ahli agama berdasarkan kitab ilmu alam yang paling jitu yang ‘ditulis’ sendiri oleh Pencipta alam, tidak dapat diterima umum kerana tidak saintifik. Sains siapa yang lebih hebat di antara sains yang menghidupkan orang ‘mati’ dengan memasukkan darah dan memindahkan organ dengan sains yang membangkitkan orang yang di dalam kubur hanya dengan berkata, :”Bangunlah kamu dengan izin Allah”. Sesungguhnya sains “Dengan izin Allah” tidak dapat dicabar dan tidak mungkin dicabar oleh sains manusia buat selama-lamanya. Oleh itu apabila sains manusia mengaku kalah berpindahlah kepada sains “:Dengan izin Allah”. Pasti keterangan yang lebih lanjut dan jelas dapat diperolehi.
Ahli agama yang mendapat sains “Dengan izin Allah” dinamakan ahli al-hak, ertinya pakar yang sebenarnya. Ada juga kalangan masyarakat menamakan mereka sebagai manusia kebenaran atau orang kebenaran. Malangnya pula manusia kebenaran ini dianggap sebagai orang yang ‘betul bendul’. Tertutuplah rahsianya sebagai ahli sains yang hakiki dan tidak adalah orang yang bertanyakan perkara sains kepadanya.
Penghulu kepada sekalian ahli al-hak, Nabi Muhamamd .s.a.w, telah menjelajah ke seluruh alam maya sehingga ke puncak yang paling tinggi, yang tidak ada lagi alam kejadian selepas itu. Baginda s.a.w menceritakan apa yang baginda saksikan. Cerita yang dikhabarkan oleh Rasulullah s.a.w menjadi pedoman bagi ahli al-hak yang lain untuk mencungkil rahsia alam maya, seterusnya membina teori alam maya berdasarkan keterangan Rasulullah s.a.w dan penyaksian mereka sendiri. Bertaburanlah maklumat tentang alam maya yang telah dikeluarkan oleh manusia-manusia kebenaran yang tidak pernah mempelajari sains dan tidak tahu istilah-istilah sains. Mereka menggunakan istilah mereka sendiri. Timbullah teori bumi berada di atas tanduk lembu. Lembu pula berada di atas belakang ikan nun. Lembu memakan rumput yang tumbuh di atas belakang ikan. Apabila lembu bergerak berlakulah kegoncangan di atas bumi. Mendengar teori yang demikian orang terus menutup telinga, tidak masuk akal, Israiliyat dan karut. Padahal teori itu dikeluarkan oleh seorang yang diperakui ilmunya oleh Rasulullah s.a.w kerana baginda sendiri mendoakan agar mengurniakannya ilmu dan kefahaman. Beliau adalah Ibnu Abbas r.a.
Apabila ahli nujum membuat teori mengenai bintang 12, di antara 12 bintang tersebut ada dua bintang yang dinamakan lembu dan ikan. Ada pengaruh mempengaruhi di antara bintang lembu dengan bintang ikan dan juga bintang-bintang lain kepada penduduk di atas muka bumi. Teori ahli nujum tersebut diterima dengan penuh yakin sehingga boleh dikatakan semua orang tahu bintangnya masing-masing. Mereka boleh percaya kepada bintang lembu dan ikan yang dikatakan oleh ahli nujum tetapi menolak perkataan ahli kasyaf yang dapat menyaksikan apa yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar.
Kita kembali kepada Alam Langit Dunia. Kita mulai dari satu planet yang bernama bumi di mana kita tinggal di atasnya. Planet yang kita tinggal ini dinamakan bumi kerana kita mendiaminya. Jika kita mendiami bulan maka bulanlah bumi kita. Jika kita mendiami matahari maka mataharilah bumi kita. Jadi, maksud bumi adalah relatif. Yang menjadi identiti bumi ialah ia berada di dalam satu kerangka. Bagi planet bumi kita banjaran gunung-gunung menjadi kerangka. Gunung di atas bulan menjadi kerangka bulan.
Apabila planet bumi yang kecil ini berada di dalam satu kumpulan yang mengandungi berjuta-juta bintang ia dinamakan galaxy. Terdapat banyak galaxy sehingga sampai kepada satu peringkat semua galaxy tersebut berada di dalam satu kerangka. Seperti di planet bumi kerangka galaxy juga dinamakan gunung. Ia diistilahkan sebagai Gunung Qaf. Gunung Qaf merupakan satu alam yang luas yang terdapat di dalamnya banyak galaxy. Di samping Gunung Qaf yang planet bumi ada di dalamnya terdapat enam Gunung Qaf yang lain. Jumlah Gunung Qaf semuanya adalah tujuh. Tujuh Gunung Qaf itu berada atau terapung-apung di dalam ruang angkasa yang luas yang dikelilingi oleh satu bulatan yang dinamakan Langit Dunia atau Langit Rendah atau Langit Pertama. Apabila planet bumi sudah menjadi terlalu kecil dibandingkan dengan kewujudan yang lain, konsep bumi itu pun berubah. Pada peringkat ini satu alam di dalam satu Gunung Qaf dinamakan satu bumi. Tujuh Gunung Qaf menjadi tujuh bumi. Terdapat tujuh bumi yang dilengkungi oleh Langit Dunia. Seluruh alam di dalam Langit Dunia ini dinamakan Alam al-Mulk. Jika istilah Alam al-Mulk dirasakan tidak sesuai maka boleh juga digunakan istilah Universe. Begitulah keadaan Universe yang digambarkan oleh ahli al-hak berdasarkan penyaksian mata hati mereka.

Centhini


Serat Centhini, sebuah karya penting dalam sastra Jawa yang ditulis pada abad ke-19, saya kira, bisa memberikan sedikit gambaran, bagaimana agama Islam dipersepsi oleh orang-orang Jawa, terutama oleh lapisan elite dalam masyarakat ini.
Salah satu teori yang dikemukakan oleh sejumlah ahli adalah teori mengenai "sinkretisme", atau percampuran antara Islam dengan unsur-unsur lokal Jawa dalam cara yang tidak genuine dan sedikit agak dipaksakan. Sebutan "sinkretisme" sebetulnya mengandung semacam ejekan: bahwa Islam tidak lagi tampil sebagai dalam wujudnya yang asli, tetapi sudah tercampur dengan unsur-unsur yang eksternal sifatnya. Islam yang "sinkretis", sebagaimana kita lihat dalam masyarakat Jawa, dengan demikian menggambarkan suatu genre keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang "murni" di tempat asalnya di Timur Tengah.
Di samping itu, sebutan "Islam sinkretis" sebenarnya mengandung asumsi tersembunyi, bahwa seolah-olah unsur utama di situ adalah Islam, sementara kejawaan adalah unsur tambahan yang menyebabkan unsur utama tersebut mengalami pemiuhan. Dengan demikian, sebutan tersebut juga memandang kejawaan sebagai "yang lain": unsur eksternal yang kehadirannya harus diwaspadai. Saya kira ini bisa kita lihat pada sejumlah tulisan yang menggunakan pendekatan "sinkretisme" dalam melihat hubungan antara kejawaan dan Islam. Perhatian pertama-tama diberikan pada Islam sebagai "tradisi besar" yang mempunyai elemen-elemen kanonik yang bersifat "universal", baru kemudian datang kejawaan sebagai unsur lokal yang mencerminkan "tradisi kecil" yang terbatas jangkauannya. Kalau kita baca sejumlah studi yang sudah klasik selama ini, seperti Clifford Geertz dalam Religion of Java (1976), akan tampak bahwa kejawaan dilihat semata-mata sebagai unsur eksternal yang membuat Islam mengalami transformasi bentuk.
Akan tetapi, sebutan yang sama sebetulnya juga bisa berarti "penaklukan" masyarakat Jawa terhadap Islam yang justru dianggap sebagai "yang lain". Kejawaan adalah elemen dasar yang membentuk "kosmos" masyarakat Jawa yang unsur-unsurnya dibangun melalui percampuran antarpelbagai elemen yang juga datang dari "luar" (di sini persoalan "yang lain" dalam kebudayaan Jawa menjadi soal yang rumit, karena amat sukar mengatakan bahwa ada unsur-unsur yang benar-benar bisa diandaikan sebagai "asli" dalam masyarakat Jawa). Pendekatan ini digunakan oleh Harry J Benda. Dalam studinya yang amat terkenal, The Crescent and the Rising Sun (kemudian lebih tegas lagi ia tuliskan dalam Continuity and Change in Indonesian Islam di Asian and African Studies, vol. 1, 1965), Benda mengemukakan sebuah teori tentang penjinakan Islam oleh masyarakat Jawa. Benda mendasarkan teorinya ini atas studinya mengenai perkembangan Islam dalam rentang waktu antara abad ke-16 hingga ke-18. Pada periode itu, berlangsung pasang-surut hubungan antara Islam dan kejawaan, yang tercermin dalam persaingan antara dua kerajaan yang saling berebut pengaruh, yaitu kerajaan Islam di Demak yang memegang bentuk Islam yang kurang lebih "ortodoks", dan kerajaan Mataram Islam yang lebih cenderung pada bentuk Islam yang sinkretik dan heterodoks. (Sebenarnya dalam lingkungan Demak sendiri, juga berlangsung persaingan yang keras antara ortodoksi Islam yang tercermin dalam figur wali sembilan dan heterodoksi Islam yang tampil dalam figur Syeh Siti Jenar).
Teori "domestifikasi Islam" ini mengandaikan bahwa kejawaan tidak serta merta bisa ditundukkan begitu saja oleh Islam sebagai unsur eksternal yang sama sekali asing. Kemenangan Mataram atas Demak menggambarkan kemenangan Islam sinkretik atas Islam ortodoks yang dikembangkan oleh para wali sembilan. Dengan cara inilah, Benda mencoba menerangkan kekalahan kelompok Masyumi terhadap aristokrasi Jawa dan kelompok sekular dalam perdebatan di konstituante mengenai negara Islam di tahun 50-an. Benda, antara lain, menulis,

Karena itu, dilihat dari kerangka nasionalisme Jawa-sebagai-pusat, Islam, atau lebih khusus lagi, jenis Islam seperti Masyumi, harus dilihat sebagai pengaruh yang sejak dari awalnya sudah asing dan non-Jawa, bahkan malah "non-Indonesia". Pancasila, ideologi resmi negara, adalah Jawa, teistik, secara samar monoteistik, tetapi yang pasti bukan Islam. (Saya pinjam dari terjemahan Ihsan Ali-Fauzi terhadap bukunya Bachtiar Effendi, Islam dan Negara [hlm. 30].

Sejumlah penulis masih menggunakan kerangka yang sama dalam menganalisa hubungan antara Islam dan pemerintah Orde Baru yang dianggap juga mencerminkan perpanjangan dari dunia Jawa dalam politik Indonesia modern. Kemenangan pemerintah Orba di tahun 1984 dalam "memaksakan" penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal kepada ormas-ormas Islam, dianggap juga sebagai perulangan tema lama mengenai "domestifikasi Islam". Dalam kaca mata ini, sebutan "Islam sinkretik" justru menunjukkan keunggulan kebudayaan Jawa yang dianggap resilien terhadap unsur asing. Sebaliknya, Islam justru dianggap sebagai unsur luar yang tidak serta merta bisa memaksakan suatu kepercayaan baru, dan menghapuskan begitu saja kepercayaan yang sudah lama mengakar. Studi-studi mutakhir dalam bidang keislaman makin cenderung melihat hubungan Islam dan budaya lokal dalam kerangka semacam ini, yaitu dalam konteks resistensi kebudayaan setempat atas penetrasi unsur-unsur luar seperti Islam. Dalam nada yang merayakan apa yang disebut sebagai kondisi postmodernitas, antropolog Islam asal Pakistan yang kini tinggal di Inggris, Akbar S Ahmed (dalam Islam dan Postmodernisme), menunjukkan bahwa hubungan antara Islam sebagai "teks besar" dengan kebudayaan setempat sebagai "teks kecil" (dua istilah ini dari saya sendiri) tidak lagi dilihat dalam kerangka "penundukan", tetapi justru dalam kerangka makin beragamnya ekspresi Islam setelah bertemu dengan unsur-unsur lokal, termasuk juga dalam kaitannya dengan pertemuan antara Islam dengan kebudayaan pop. Islam tidak saja dilihat sebagai unsur yang universal, tetapi juga akomodatif. Sementara kebudayaan lokal tidak dipandang sebagai unsur "rendah" yang harus mengalah kepada Islam, sebab jenius setempat ini juga bisa menolak terhadap unsur-unsur baru. "Sinkretisme Islam" tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang pejoratif, tetapi justru memperlihatkan adanya "dialog"

Gadis Centhini adalah saksi yang mendengarkan wejangan agama -tentang syariat, tarikat, hakikat, dan makrifat- dari Jayengresmi kepada Tembanglaras selama 40 malam. Dari penelitian itu, ada 20 Kitab Kuning yang dirujuk Serat Centhini. Misalnya, ada enam kitab fikih (termasuk Taqrib dan Idah), sembilan kitab akidah, dua kitab tafsir (Jalalain dan Baidhawi), dan tiga kitab tasawuf, seperti Ihya dan Al Insan Al Kamil karya Abd. Al Karim Al Jali, sebuah sajian sistematis aliran Wahdah Al Wujud dari Ibn. Al Arabi


Serat Centhini adalah puncak karya sastra tulis Jawa klasik karya Raja Keraton Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono V -tatkala menjadi putra mahkota pada 1814. Sedangkan Centhini, yang berperawakan ramping, adalah seorang gadis pembantu rumah tangga suami-istri, Jayengresmi alias Amongraga dan Tembanglaras. Serat yang ditulis bergaya tembang macapat ini menceritakan pengembaraan Jayengresmi, salah seorang putra Sunan Giri III, setelah Sultan Agung dari Mataram menaklukkan Kewalian Giri di Gresik