Senin, 22 November 2010

NASIB BUDAYA NUSANTARA

SUMPAH BUDAYA II

 Oleh Mas Kumitir


Situasi mental sosial-budaya bangsa semakin memprihatinkan dan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Juga harus ada langkah raksasa agar ada keperdulian dari semua elemen bangsa untuk memelihara dan menjaga budaya nusantara tidak sekedar parsial namun dalam scope nasional secara komprehensif. Perlu pula dilakukan semacam revitalisasi budaya bangsa dengan visi menjadi bangsa Indonesia yang berkarakter (mempunyai jati diri), bermartabat dan terhormat.
Apa pentingnya budaya ?
Budaya merupakan seperangkat nilai yang tak bisa dianggap remeh. Karena kebudayaan merupakan nilai-nilai luhur sebagai hasil adanya interaksi manusia dengan lingkungan alam dan lingkungan sosialnya yang telah terbangun sejak ribuan tahun silam. Nilai-nilai luhur yang telah menjiwai sebuah bangsa dan masyarakat. Sehingga kebudayaan sangat mewarnai sekaligus memberi karakter pada jiwa suatu bangsa (volkgeist). Budaya menjadi cerminan nilai kejiwaan yang merasuk ke dalam setiap celah kesadaran dan aktivitas hidup manusia atau.
Oleh sebab itu, sistem budaya sangat berpengaruh ke dalam pola pikir (mind-set) setiap individu manusia. Budaya berkonotasi positif sebagai buah dari budi daya manusia dalam menjalani kehidupan dan meretas kreatifitas hidup yang setinggi-tingginya. Maka budaya pun bisa dikatakan nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan suatu masyarakat atau bangsa yang lahir sebagai hikmah (implikasi positif) dari pengalaman hidup selama ribuan tahun lamanya. Adanya budaya juga membedakan mana binatang mana pula manusia. Manusia tidak disebut binatang karena pada dasarnya memiliki kebudayaan yang terangkum dalam sistem sosial, plitik, ekonomi dan kesadaran spiritualnya. Setuju atau tidak setuju, kenyataannya budaya sangat erat kaitannya dengan moralitas suatu bangsa.
Lantas seperti apakah karakter budaya kita bangsa Indonesia ? Bangsa yang tidak berbudaya maksudnya untuk merujuk suatu bangsa yang sudah bobrok moralitas dan hilang jati dirinya. Budaya kita telah lama mengalami stagnasi kalau tidak boleh disebut kemunduran. Tanda-tandanya tampak terutama dalam pemujaan berlebihan di kalangan masyarakat luas terhadap hal-hal yang bersifat fisik dan material yang datangnya dari luar nusantara. Oleh karena itu, mutlak segera dibahas dan dipecahkan bersama-sama. Kita perlu menyadari bahwa banyaknya persoalan yang dihadapi bangsa ini sangat kompleks menyangkut kehidupan sosial, ekonomi, politik dan lainnya. Namun harus digarisbawahi kalau bidang-bidang tersebut sangat terkait dengan krisis yang berlaku di lapangan kebudayaan.
Kita mengakui budaya bangsa warisan leluhur kita sangat adiluhung. Namun kenapa perhatian semua pihak terhadap budaya bangsa semakin lama semakin rendah? Bangsa ini seakan menjadi bangsa yang tanpa budaya, dan perlahan dan pasti suatu saat nanti bangsa ini pasti lupa akan budayanya sendiri. Situasi ini menunjukan betapa krisis budaya telah melanda negeri ini. Rendahnya perhatian pemerintah untuk menguri-uri budaya bangsanya, menunjukan minimnya pula kepedulian atas masa depan budaya. Yang semestinya budaya senantiasa dilestarikan dan diberdayakan. Muara dari kondisi di atas adalah bangkrutnya tatanan moralitas bangsa. Kebangkrutan moralitas bangsa karena masyarakat telah kehilangan jati dirinya sebagai bangsa besar nusantara yang sesungguhnya memiliki “software” canggih dan lebih dari sekedar “modern”. Itulah “neraka” kehidupan yang sungguh nyata dihadapi oleh generasi penerus bangsa. Kebangkrutan moralitas bangsa dapat kita lihat dalam berbagai elemen kehidupan bangsa besar ini. Rusak dan hilangnya jutaan hektar lahan hutan di berbagai belahan negeri ini. Korupsi, kolusi, nepotisme, hukum yang bobrok dan pilih kasih. Pembunuhan, perampokan, pencurian, pemerkosaan, asusial, permesuman, penipuan dan sekian banyaknya tindak kejahatan dan kriminal dilakukan oleh masyarakat maupun para pejabat. Bahkan oleh para penjaga moral bangsa itu sendiri.
Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 32 ayat (1) dinyatakan, “Negara memajukan kebudayaan nasional di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasa masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai–nilai budayanya”. Sudah sangat jelas konstitusi menugaskan kepada penyelenggara negara untuk memajukan kebudayaan nasional Indonesia. Ini berarti negara berkewajiban memberi ruang, waktu, sarana, dan institusi untuk memajukan budaya nasional dari mana pun budaya itu berasal.
Amanah konstitusi itu, tidak direspon secara penuh oleh pemerintah. Bangsa yang sudah merdeka 65 tahun ini masalah budaya kepengurusannya “dititipkan” kepada institusi yang lain. Pada masa yang lampau pengembangan budaya dititipkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kini Budaya berada dalam satu atap dengan Pariwisata, yakni Departemen Pariwisata dan Budaya. Dari titik ini saja telah ada kejelasan, bagaimana penyelenggara negara menyikapi budaya nasional itu. Budaya nasional hanya dijadikan pelengkap penderita saja.
Kita ingat beberapa saat yang lalu kejadian yang menyita perhatian yaitu klaim oleh negara Malaysia terhadap produk budaya bangsa Indonesia yang diklaim sebagai budaya negara Jiran tersebut, antara lain lagu Rasa Sayange, Batik, Reog Ponorogo, Tari Bali, dan masih banyak lainnya. Apakah kejadian seperti ini akan dibiarkan terus berulang?
Seharusnya peristiwa tragis tersebut dapat menjadi martir kesadaran dan tanggungjawab yang ada di atas setiap pundak para generasi bangsa yang masih mengakui kewarganegaraan Indonesia. Negara atau pemerintah Indonesia semestinya berkomitmen untuk mengembangkan kebudayaan nasional sekaligus melindungi aset-aset budaya bangsa, agar budaya Indonesia yang dikenal sebagai budaya adi luhung, tidak tenggelam dalam arus materialistis dan semangat hedonisme yang kini sedang melanda dunia secara global. Sudah saatnya negara mempunyai strategi dan politik kebudayaan yang berorientasi pada penguatan dan pengukuhan budaya nasional sebagai budaya bangsa Indonesia.
Sebagai bangsa yang merasa besar, kita harus meyakini bahwa para leluhur telah mewariskan pusaka kepada bangsa ini dengan keanekaragaman budaya yang bernilai tinggi. Warisan adi luhung itu tidak cukup bila hanya berhenti pada tontonan dan hanya dianggap sebagai warisan yang teronggok dalam musium, dan buku buku sejarah saja. Bangsa ini mestinya mempunyai kemampuan memberikan nilai nilai budaya sebagai aset bangsa yang mesti terjaga kelestarian agar harkat martabat sebagai bangsa yang berbudaya luhur tetap dapat dipertahankan sepanjang masa.
Dalam situasi global, interaksi budaya lintas negara dengan mudah terjadi. Budaya bangsa Indonesia dengan mudah dinikmati, dipelajari, dipertunjukan, dan ditemukan di negara lain. Dengan demikian, maka proses lintas budaya dan silang budaya yang terjadi harus dijaga agar tidak melarutkan nilai nilai luhur bangsa Indonesia. Bangsa ini harus mengakui, selama ini pendidikan formal hanya memberi ruang yang sangat sempit terhadap pengenalan budaya, baik budaya lokal maupun nasional. Budaya sebagai materi pendidikan baru taraf kognitif, peserta didik diajari nama-nama budaya nasional, lokal, bentuk tarian, nyanyian daerah, berbagai adat di berbagai daerah, tanpa memahami makna budaya itu secara utuh. Sudah saatnya, peserta didik, dan masyarakat pada umumnya diberi ruang dan waktu serta sarana untuk berpartisipasi dalam pelestarian, dan pengembangan budaya di daerahnya. Sehingga nilai-nilai budaya tidak hanya dipahami sebagai tontonan dalam berbagai festival budaya, acara seremonial, maupun tontonan dalam media elektronik.
Masyarakat, sesungguhnya adalah pemilik budaya itu. Masyarakatlah yang lebih memahami bagaimana mempertahankan dan melestarikan budayanya. Sehingga budaya akan menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari. Dengan adanya pemeliharaan budaya oleh masyarakat, maka klaim-klaim oleh negara lain dengan mudah akan terpatahkan. Filter terhadap budaya asing pun juga dengan aman bisa dilakukan. Pada gilirannya krisis moral pun akan terhindarkan. Sudah saatnya, pemerintah pusat dan daerah secara terbuka memfasilitasi partisipasi masyarakat dalam upaya penguatan budaya nasional.
Dengan dasar di atas, kami bagian dari elemen bangsa ini bersumpah untuk:
  1. IKUT SERTA MEMELIHARA WARISAN BUDAYA BANGSA (NATIONAL HERITAGE).
  2. MENDESAK KEPADA PEMERINTAH UNTUK SERIUS MEMPERHATIKAN PEMBANGUNAN BUDAYA DAN MENSOSIALISASIKANNYA DI DUNIA PENDIDIKAN.
  3. MENGELUARKAN KEBIJAKAN YANG MENDUKUNG LESTARINYA NILAI-NILAI BUDAYA LOKAL DAN NASIONAL YANG POSITIF DAN KONSTRUKTIF.
  4. MENYARING BUDAYA ASING YANG MASUK MELALUI AKTUALISASI BUDAYA.
  5. MENGGALANG SEMUA POTENSI BUDAYA YANG ADA MELALUI “MANAJEMEN BUDAYA” TATA KELOLA KEBUDAYAAN YANG BAIK DAN BENAR (GOOD CULTURAL MANAGEMENT/ GOOD CULTURAL GOVERNANCE).
TERTANDA
  1. KI SABDALANGIT, www.sabdalangit.wordpress.com
  2. MAS KUMITIR, www.alangalangkumitir.wordpress.com
  3. KI WONG ALUS, www.wongalus.wordpress.com

Rabu, 31 Maret 2010

Profil YPPN

Visi dan Misi
 Visi :
Membangun peradaban manusia untuk memajukan kesejahteraan rakyat Nusantara.
 Misi  :
Melalui peradaban manusia YPPN betekad mensejahterakan rakyat Nusantara dengan mengemban amanat rakyat menuju cita-cita bangsa Indonesia yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.
 Azas  :
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
 Persepsi :
Menampung aspirasi rakyat secara bersama-sama demi kepentingan seluruh rakyat sebagai wujud rasa tanggung jawab bersama, dalam membentuk manusia beradab, jujur, cerdas dan tegas demi terciptanya cita-cita luhur bangsa Indonesia di seluruh wilayah nusantara.

Kamis, 04 Maret 2010

Ciribon, Cirebon, Ki Semar, Ki Samar

Wafatnya Sultan Kanoman XI (Sultan Djalaludin) membawa permasalahan perebutan kekuasaan antara Pangeran Raja Muhammad Emirudin dengan Pangeran Muhammad Saladin.

Sesuai adat istiadat dan pepakem, yang berhak menjadi Sultan adalah putra yang lahir dari ibunda permaisuri yaitu Pangeran Raja Muhammad Emirudin, namun munculnya surat wasiat Sultan Kanoman XI (Sultan Djalaludin) yang bunyinya penyerahan tahta ke Pangeran Muhammad Saladin sebagai Sultan Kanoman XII, telah membawa Kasultanan Kanoman kepada konflik keluarga yang berujung ontran-ontran suksesi.

Meski Kasultanan Kanoman tidak lagi mempunyai pamor maupun pengaruh apa-apa bagi masyarakat Cirebon dan boleh dikatakan bahwa ikon feodalisme ini tengah mati ngorak …mati sendiri tanpa revolusi seperti Prancis… tak urung ontran-ontran suksesi ini berimbas kepada panasnya hawa yang sangat dirasakan kaum spiritualis Sunyaragi. Tempat para Sultan Cirebon bersamadhi.

Hawa panas ini sangat menggangu aktivitas spiritualis mereka & meresahkan. Maka dalam sebuah pertemuan mereka sepakat berupaya mencari jawab akan penyebabnya. Dalam meditasi yang mendalam para spiritualis mendapatkan wisikan bahwa Kasultanan Cirebon telah kehilangan Drijine Semar, Jarinya Semar.

Semar simbol Sang Pamomong, sosok yang serba samar rahasia lambang hakekat hidup disebut juga Sipat Sampurna telah kehilangan jarinya. Sementara para raja Jawa meyakini bahwa untuk mengukuhkan kekuasaan mereka haruslah diemong oleh Semar yang juga adalah symbol legitimasi dari rakyat.

Bila ada raja tanpa rakyat, raja macam apa itu? Mungkin itulah raja Kethoprak. Raja yang bukan lagi menjadi tuntunan namun hanya sekedar tontonan.

Tuntunan yang menjadi kewajiban raja bagi rakyatnya tak lagi mampu dipenuhi. Jari sebagai penunjuk arah telah hilang, dan mungkin tak lama lagi Semar Sang Pamomong akan sungguh2 oncat meninggalkan mereka.

Kaum spiritual Kasultanan menjadi makin prihatin akan keadaan ini. Mereka kembali melakukan meditasi guna memperoleh petunjuk lebih lanjut bagaimana mengembalikan jari Sang Pamomong. Dan diperolehlah petunjuk untuk mengutus salah satu dari mereka berjalan menuju kearah Timur ke sebuah kota yang memakai nama Semar. Nanti ditengah perjalanan mereka akan mendapatkan petunjuk lagi.

Setelah berembug, diutuslah dua orang dari mereka untuk melakukan perjalanan menuju Timur. Kebetulan salah satunya adalah seorang muda yang punya istri orang Semarang. Semar-ang ah mungkin itu maksud dari wisik yang mereka dapat.

Tak dicerita dalam perjalanan, mereka berdua sampai di Semarang & kebetulan bertemu Kyai kampung yang lalu ngomong-ngomong ngalor ngidul sampai menyinggung masalah Kanoman kehilangan jari Semar.

“Hmmm… Kasultanan Cirebon kehilangan jari Semar”, kata Mbah Kyai,

“Coba kalo diwayang itu Semar khan tangan kanannya selalu menunjuk seperti ini…Nah lalu coba kita lihat, dengan jari menunjuk seperti ini kamu yang suka ngaji pasti tahu dong huruf Arab apa yang ditunjukkan oleh telunjuk Semar..”

“Itu Alief…”kata mereka

“Nah kalo yang dibentuk oleh telunjuk dengan ibu jari?”

“Itu Lam…”

“Nah kalo yang dibentuk telunjuk dengan jari tengah?”

“Itu Miem…”

“Jadi jari Semar yang sedang menunjuk ini bila dibaca akan berbunyi Alief Lam Miem Dzalikal Kitab…”

“Surat Al Baqarah ayat pertama…Oh.. betul..”

“Lalu apa arti ayat tersebut…?”

“lha itu Mbah…guru ngaji saya nggak ngajari soal itu..katanya yang tahu cuma yang disana, nggak tahu juga sananya mana..”

“Welhadalah Kasultanan Cirebon… kerajaan Islam yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati salah satu Wali Sangha tak lagi mampu mengartikan Alief Lam Miem Dzalikal Kitab?” Si Mbah Kyai geleng-geleng.

“Begini…Semar adalah jarwadhosok dari HASEMING SAMAR-SAMAR yang secara harafiah berarti Sang Penuntun Makna Kehidupan, maka tangan kanannya selalu menunjuk. Jari yang seperti katamu tadi menyimbolkan Alief bagi orang urakan seperti saya adalah Urip, Hidup, Keesaan”

“Bener Mbah..” sahut mereka

“Hidup itu Esa, Tunggal, Manunggal dalam segala Sifat. ADA yang mendahului ada…. Ada inilah yang lalu berkembang menjadi kesadaran dalam diri manusia yang mulai berkata AKU…dan terus mencoba mencari kesejatian AKU. Hidup yang mendapatkan kesadaran dalam diri manusia ini berasal dari Alief Lam Miem atau bagi orang urakan seperti saya dinamakan Gatholoco, bersatunya Rasa yang melahirkan Kitab…dzalikal kitab….bukan Taurat, Zabur, Injil atau Quran. Namun adalah diri manusia itu sendiri Kitab Basah yang ditulis dari air & darah.

Maka dikatakan sebagai ADAMMAKNA, Hidup yang berkesadaran. Kitab yang tak akan pernah berhenti ditulis selalu berkembang seiring perkembangan hidup manusia.” Jelas Si Mbah Kyai nerocos terus

“Jadi teruslah berjalan jangan pernah berhenti memaknai seperti yang telah ditunjukkan oleh Semar…maka kalian tak akan kehilangan lagi jarinya hehehehe…”

“Lalu apa hubungannya dengan suksesi di Kanoman Cirebon?”

“Suksesi itu tak berdampak apa-apa…selain bahwa ikon feodal itu tengah hancur sendiri dari dalam & itu memang telah dinubuatkan bahwa kalo Indonesia ingin jadi mercusuar dunia, Kraton-kraton seperti itu harus hancur terlebih dulu..”

“Maksudnya..?”

“Yah..khan sudah diberi tahu sama Kyai Semar kalo semua itu hanyalah belenggu yang menghalangi manusia menuju kepenuhan hidup..berhenti memaknai Hidup dan membebek saja dengan apa yang telah diklaim sebagai menara gading kebenaran…sejatinya tonggak rusak yang tak bisa dijadikan pathokan lagi.”

“Hmmm…..”

“Semar adalah suatu lambang dari pengejawantahan ekspresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual. Kyai Semar terkenal dengan sabdanya HAYWA SAMAR DUR SUKERING KAMURKAN, MRIH DU KAMARDIKAN BAYA SIRA HARSA MARDIKA, artinya “merdekanya jiwa dan sukma”, berani mbirat dur sukering kamurkan, membersihkan jiwa yang dalam bahasa Jawa ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu atau dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup. Inilah yang seharusnya diperjuangkan oleh kaum spiritual seperti kalian & juga oleh seluruh bangsa Indonesia ini.”

”Maksudnya untuk sungguh merdeka kita tak boleh tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian?”

”Begitu juga bisa, namun secara holistik petunjuk Semar tadi mengisyaratkan kita untuk melakukan REVOLUSI KULTUR, kultur yang berarti mencakup pula mental spiritual kita sebagai makhluk bernama manusia ini.”

”Dilanjut Mbah..”

”Diakui dong kalau kita telah dibentuk sedemikian rupa oleh doktrin yang membuat kita jadi bebek tadi, jari Semar memberi petunjuk kita untuk terus berjalan menjadi manusia utuh. Merevolusi kultur yang telah dibelenggu doktrin untuk menjadi manusia baru.Manusia baru yang memahami Alief Lam Miem Dzalikal Kitab bahasa Arabnya. Bahwa semua manusia dimuka bumi ini sama berasal dari Hidup yang sama & dijadikannya juga sama pakai Gatholoco hehehehe… dengan ini kita secara pribadi mampu menuju kepada kepenuhan hidup dan secara luas sebagai bangsa mampu menjadi mercusuar dunia”

”Maksudnya kita akan menjadi negara & bangsa adidaya dimuka bumi ini?”

”Hahahaha..mercusuar itu khan penanda agar kapal tidak menabrak karang..”

”Lalu apa maksudnya?”

”Ya dengan merevolusi kultur & menjadi manusia baru kita dapat jadi titisan-titisan Semar yang mampu memberi petunjuk yang benar & pamong seluruh umat..bahasanya Memayu Hayuning Bawana yang tidak cuma sekedar slogan… Kita akan mampu mendamaikan keturunan Ibrahim, si Ishak & Ismail yang tak jemu & bosannya terus menumpahkan darah saudara…karena berebut kebenaran. Kebenaran yang fasis & bengis.

“Semar disebut juga Ismaya, Maya adalah cahaya hitam, guna membuat semua Samar. Jadi yang ada itu sesungguhnya tidak ada. Yang sesungguhnya ada, ternyata bukan. Yang bukan dikira iya.Yang bersemangat hatinya, hilang semangatnya, sebab takut kalau keliru.Maya, atau Ismaya, cahaya hitam, juga disebut SEMAR artinya tersamar, atau tidak jelas.Tidak ada lagi fasis, bengis & otoriter.”

“Waduh terima kasih banyak Mbah atas penjelasannya yang gamblang.”

“Wah saya yang harus berterima kasih sudah ada yang mendengarkan saya ndobos….. hehehe…. sama ini rokoknya sudah nggak bikin mulut saya kecut lagi…”