Sabtu, 07 Januari 2017

Syahadat Jawa

SYAHADAT ORANG JAWA

Ketika Islam merasuk ke tanah Jawa secara massif pasca-kehancuran Majapahit, ada suatu proses penyesuaian ajaran untuk bisa diterima masyarakat Jawa yang sudah memiliki agama sendiri: ajaran Jawa Kuno dan Siwa Sogata. Dua ajaran tersebut meyakini bahwa segala sesuatu berada di dalam diri manusia, termasuk Allah dan Rasul Muhammad. Bagi orang Jawa, Allah adalah Sang Aku, Urip (Hidup), sesuatu yang susah dijelaskan di dalam diri manusia, yang “tan kena kinaya ngapa” (laysa kamitslihi syai’a). Aku dan Urip sejatinya sama, sehingga ajaran Kejawen membuat pernyataannya yang terkenal terkait itu: Aku Iki Urip (Aku Ini Hidup). Oleh orang Jawa, Rasul Muhammad dipahami sebagai Atma/Ruh. Atma/Ruh inilah rasul/utusan yang sebenarnya dari Allah/Aku/Urip. Atma/Ruh inilah yang membuat makhluk bisa tampak memiliki kehidupan dan beraktivitas. Oleh karenanya Atma/Ruh disebut Kang Nggawe Urip (yang membuat makhluk bisa beraktivitas). Bagi orang Jawa, Allah dan Rasul Muhammad tak bisa dipisahkan dan sejatinya berada di dalam diri manusia sendiri.

Bagi orang Jawa, Allah tidak dipahami sebagai sosok personal di atas sana yang harus diimani dan terpisah dari diri. Demikian pula Rasul Muhammad; secara hakiki ia tidak dipahami sebagai sosok personal yang pernah hidup di tanah Arabia pada suatu masa. Syahadat sejati orang Jawa adalah menyadari keberadaan Aku/Urip dan Atma/Ruh di dalam diri mereka sendiri. Bagaimana bisa orang Jawa bersyahadat pada Kanjeng Nabi Muhammad sementara mereka sama sekali tidak pernah bertemu dengan beliau? Palsulah kiranya sebuah kesaksian tanpa tahu yang disaksikan.

Itulah salah satu penyesuaian ajaran Islam ketika merasuk ke tanah Jawa.